Tampilkan postingan dengan label Khrisna Pabichara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Khrisna Pabichara. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Februari 2013

Surat Dahlan

Judul: Surat Dahlan
Penulis: Khrisna Pabichara
Penerbit: Nourabooks
Cetakan: I, Januari 2013
Jumlah Halaman: 378
ISBN: 9786027816251

Dahlan Iskan tetaplah seorang manusia biasa namun memiliki tekad luar biasa. Sosok yang di masa kecilnya hidup dengan kemiskinan, namun berkat mental yang kuat dan kerja keras, akhirnya kesuksesan hidupnya muncul satu demi satu. Kisah hidupnya, kini dibukukan dalam trilogi novel inspirasi Dahlan Iskan, di mana buku Surat Dahlan merupakan bagian kedua dari trilogi tersebut.

Jika di bagian pertama trilogi buku ini, Sepatu Dahlan mengisahkan bagian hidup Dahlan kecil smapai lulus Pesantren Takeran, di buku Surat Dahlan ini diceritakan hidup Dahlan ketika hidup sebagai mahasiswa di Samarinda sampai ketika awal-awal Dahlan Iskan mendapatkan tugas untuk menghidupkan kembali harian Jawa Pos, yang kelak menjadi harian besar di Indonesia, dan pengantar Dahlan menjadi sosok konglomerat di bidang media.

Idealisme merupakan salah satu sifat yang tumbuh dalam jiwa mahasiswa. Termasuk apa yang dialami oleh Dahlan. Bersama rekan-rekannya di PII, Dahlan berusaha memperjuangkan idealismenya, menentang pilihan orde baru yang memilih kebijakan yang tak mendukung rakyat. Akibatnya, Dahlan dikejar-kejar oleh tentara, dianggap subsersif, dan sampai akhirnya dalam pelariannya tersebut, dia menemukan cinta barunya, yaitu cinta terhadap dunia pers. Semula hanyalah ajakan dari Sayid, seorang wartawan Mimbar Masyarakat, yang bertemu Dahlan dalam pelariannya, untuk menjadi wartawan di Mimbar Masyarakat. Karena kegemaran Dahlan menulis, juga intuisi yang tepat dari Sayid, semakin lama Dahlan semakin pintar dalam menulis berita. Dan ini mengantarkan Dahlan ke kesuksesan berikutnya, menjadi wartawan koresponden daerah Samarinda untuk Majalah Tempo.

Dengan kiprah yang semakin lama semakin menjulang, dukungan dari istri tercinta, Nafsiah, yang cinta mereka pun dipertemukan dalam organisasi PII, semakin kuat. Apalagi Nafsiah yang berpendidikan di sekolah guru mau melepas karirnya sebagai guru, ketika harus mendampingi Dahlan ke Surabaya, ketika Dahlan diangkat menjadi ketua biro daerah Jawa Timur untuk majalah Tempo. Ditambah dengan lahirnya putra dan putri mereka, Rully dan Isna, membuat Dahlan semakin giat berkerja keras, meski sempat mendapat protes dari Rully, akibat kurangnya interaksi dari Dahlan di keluarga. Dan sampai pada akhirnya ketika Dahlan menerima tantangan Dari Erwin, orang Tempo pusat, untuk memimpin Jawa Pos yang akan dibeli. Padahal di saat itu keadaan Jawa Pos sedang melorot, baik dari segi omset maupun popularitasnya sebagai harian di Surabaya.

Judul Surat Dahlan di sini, merujuk pada surat-surat yang banyak diterima Dahlan. Berbeda dari seri pertama, Sepatu Dahlan, dimana Sepatu merupakan impian yang selalu dicita-citakan Dahlan, pada Surat Dahlan, lebih banyak dikisahkan surat-surat yang diterima Dahlan. Surat-surat tersebut banyak yang menimbulkan kegalauan pada Dahlan dikarenakan kebanyakan berasal dari Aisha, seorang teman dimana hati Dahlan sempat melabuhkan cinta. Mengingat usia Dahlan yang masih menginjak usia mahasiswa, pergolakan jiwa Dahlan memang menjadi inti di sebagian besar karya ini.

Membaca Surat Dahlan, semakin membuat saya terpana akan kemampuan Khrisna Pabicahara dalam menulis. Bagaimana sebuah kisah hidup yang ramai akan konflik dan kegalauan seorang remaja yang kelak akan mengalami kesuksesan, bisa dirangkai dalam kalimat-kalimat sederhana namun kadangkala bisa berpuitis. Sebagai karya sastra, novel ini patut mendapatkan perhatian serius di kalangan pengkaji sastra Indonesia. Dan buku ini bisa menjadi pegangan bagi orang-orang Indonesia, yang masih mempunyai impian.

Kamis, 08 November 2012

Sepatu Dahlan

Judul: Sepatu Dahlan
Penulis: Khrisna Pabichara
Penerbit: Nourabooks
Jumlah Halaman: 371
ISBN: 9786029498240

Dahlan Iskan mungkin tak pernah menduga di masa kecilnya, bahwa kelak dia akan hidup sukses. Waktu menginjak usia anak-anak menjelang remaja, ia hanyalah seorang putra dari seorang ayah yang berprofesi sebagai buruh tani lepas dan panggilan renovasi rumah, serta ibu yang berprofesi sebagai pembatik. Masa kecil Dahlan, yang oleh Khrisna Pabichara dibuat dalam versi fiksinya, dengan judul Sepatu Dahlan ini, hanya hidup seperti layaknya anak desa miskin, sehari-hari bersekolah, menggembalakan domba, serta bermain-main di kali. Dan apa yang dialami Dahlan semasa kecilnya, memang mengenaskan. Untuk makan sehari-hari saja sulit, ditambah Dahlan harus bersekolah tanpa menggunkan sepatu dan sepeda, karena memang kemiskinan. Makanya tak heran, apabila impian Dahlan saat itu hanya memiliki sepatu, terkait juga dengan hobi Dahlan, berolahraga bola voli.

Dari keinginan Dahlan untuk masuk SMP Negeri Magetan, yang ditolak ayah, sampai keinginan Dahlan untuk kuliah di akhir buku, kita akan mendapatkan bagaimana serunya hidup Dahlan. Khrisna Pabichara, menurut saya mampu membuat sebuah karya yang mengasyikkan. Semua pengalaman Dahlan membuat kita belajar, bagaimana sosok seorang anak desa miskin, bergulat dengan kehidupan sehari-hari. Tentu saja kita akan melihat bagaimana musibah yang menghampiri Dahlan, seperti kematian ibunya, sempat membuat perasaan Dahlan jatuh. Tapi dengan bisa membaca bagaimana pandangan seorang anak desa yang miskin, khasanah kontemplasi kita akan menjadi semakin kaya.

Bagian yang saya suka adalah ketika Dahlan menuliskan isi hatinya dalam buku harianya. Begitu polos dan jujur. Kebiasaan Dahlan yang sedari kecil sudah menulis dalam buku hariannya mungkin menjadi bekal bagi beliau ketika menginjak profesi sebagai wartawan yang mengantarkannya ke jenjang kesuksesannya sekarang. Meski agak ragu apa yang ditulis oleh Khrisna, snag penulis, persis seperti yang ditulis oleh Dahlan puluhan tahun yang lalu, isi buku hariannya serasa mengena.
Meski tak berbeda jauh dengan novel biografi lainnya, yang berisi kisah hidup penuh halangan sebelum sukses, buku ini bisa menjadi bahan untuk lebih mengenal sosok fenomenal Dahlan Iskan. Dan ini bermula dari impainnya tentang sepatu. Hal yang diremehkan kebanyakan orang karena sepatu bagi kebanyakan orang merupakan barang yang untuk dikoleksi. Mungkin masih banyak yang heran apabila masih banyak anak-anak miskin yang masih berangkat ke sekolah tanpa menggunakan sepatunya.

Kalau memang perlu disayangkan dari buku ini, adalah kadang bagian cerita yang belum tuntas, seperti di bab terakhir, kisah tentang Stasiun Madiun, tak dijelaskan kisah pertemuan Dahlan dengan Aisyah. Juga masih ada bagian yang seperti menggantung, seperti perseteruan Dahlan dengan anak latihnya di klub voli PG Gorang Gareng. Seolah-olah berakhir begitu saja. Tapi secara keseluruhan saya menyukai kisah Sepatu Dahlan. Sebuah kisah, tentang impian terhadap sepatu.