Judul: Orang-orang Proyek
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 224
ISBN: 9792225811
Ir. Kabul, seorang insinyur sipil dan mantan aktivis kampus, mendapatkan tugas untuk mengawasi jalannya pembangunan sebuah jembatan di sungai Cibawor. Dengan latar awal tahun 1990-an, novel ini mengisahkan pertempuran antara idealisme hidup bersih melawan realisme korupsi yang marak di zaman orde baru. Di saat itu, sudah menjadi rahasia umum, bahwa di segala aspek kehidupan, Indonesia digerogoti jahatnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Kejahatan ini mencuat dalam berbagai proyek, salah satunya proyek pembangunan jembatan yang disastrakan oleh Ahmad Tohari dalam buku ini, dengan sangat lugas. Seperti contoh, dalam upaya menanamkan ideologi orde baru, di bagian ketika pertemuan tokoh parpol yang berkuasa dengan Basar, kepala desa yang juga rekan kampus Kabul, sang tokoh Parpol berkata:
Dalam cerita ini ada sosok pak Tarya, pensiunan PNS dan mantan wartawan yang kadang menyejukan hati Kabul, di tengah kebimbangannya. Dalam berbagai kisah, ketika menemani pak Tarya memancing ataupun dalam berbagai perbincangan, Kabul mendapatkan berbagai petuah, seperti:
Tohari menutup buku Orang-orang Proyek ini dengan sebuah pertanyaan menarik, yang mungkin kita sendiri tak bisa menjawabnya. "Dengan mental "orang-orang proyek" yang merajalela di mana-mana, bisakah orang berharap akan terbangun tatanan yang hidup yang punya masa depan?". Ironis memang, tapi bukan berarti kita tak punya harapan.
Tokoh utama cerita ini, Kabul adalah seorang sosok idealis, tak ingin jembatan hasil pekerjaannya menjadi tidak bermutu. Namun apa daya, atasannya langsung, Ir. Dulkijo, meminta Kabul di setiap kesempatan, untuk lebih hidup secara realistis. Yang berarti mau tunduk kepada keadaan, dimana tak mengapa jembatan berkualitas buruk, ketika sebagian dana proyek terserap ke "tangan yang salah", membiarkan proses "permainan" di belakang dan penguasa mendapatkan "bagian yang tak semestinya". Alasan yang dikemukakan oleh Dulkijo ketika mengatakan bahwa kalaulah jembatan rusak, akan ada proyek baru untuk memperbaikinya, sehingga kontraktor tempat mereka bekerja akan ketambahan duit lagi, menjadi rayuan maut yang menggiurkan. Siapa yang tak akan berpikir, dengan adanya proyek di tengah jalan yang menguntungkan, akan ada proyek di masa depan untuk memperbaiki hasil proyek kita pertama, dan tentu saja uang akan semakin mengalir, tak peduli uang itu adalah milik rakyat, yang lebih berhak mendapatkan proyek yang lebih berkualitas. Mental "orang proyek" digambarkan Tohari, ketika insinyur yang ada telah kehilangan komitmen profesi dan tanggung jawab keilmuan mereka, pekerja proyek yang sering mencuri materi proyek, partai berkuasa dan pejabat yang meminta "jatah" dari proyek yang ada, sampai perusahaan kontraktor yang tidak menimbang kualitas hasil proyek demi keuntungan belaka."Ya, tapi jangan lupa, mintalah orang dinas kebudayaan mengubah pupuh-pupuh atau lirik nyanyian lengger. Sesuaikan kata-katanya dengan semangat Orde Baru. Misalnya ini: Kembange kembang terong. Kepengin cemerong-cerong. Arep nembung akeh ewong. Itu bunyinya yang asli. Tapi seniman lengger zaman sekarang harus diordebarukan. Maka, parikan tadi akan kita ubah jadi begini: Kembange kembang terong. Kepengin cemerong-cerong. Orde baru pilihan inyong." [halaman 83]
Dalam cerita ini ada sosok pak Tarya, pensiunan PNS dan mantan wartawan yang kadang menyejukan hati Kabul, di tengah kebimbangannya. Dalam berbagai kisah, ketika menemani pak Tarya memancing ataupun dalam berbagai perbincangan, Kabul mendapatkan berbagai petuah, seperti:
"Cuma kadang saya ingin bilang, kekuasaan tidak langgeng. Semua punya titik akhir. Dan satu hal lagi. Kita mengenal pepatah, trima sing nglakoni, ora trimo sing ngemongi. Artinya jangan anggap enteng orang-orang tertindas, tapi hanya bisa diam. Sebab yang ngemong, Gusti Allah, ada di belakang mereka." [halaman 136]Apakah idealisme cukup membuat Kabul bertahan dalam pelaksanaan proyek tersebut? Ahmad Tohari membuat kisah yang sepertinya terlupakan di masa orde baru, tapi tetap faktual di era reformasi ini, sangat humanis. Kita akan menjumpai kisah anak-anak muda pekerja proyek yang minim hiburan terhibur oleh tante Ana, seorang waria yang sering datang di saat penggajian. Kita akan menemukan kisah Wati, sekretaris proyek, yang mencintai Kabul, yang hanya menganggap dia sebagai teman kerja belaka. Kisah Pak Martasatang, orang tua Samin seorang buruh proyek yang cemas anaknya menjadi tumbal pembangunan jembatan ketika anaknya tersebut hilang, menggambarkan kisah masyarakat desa yang masih lekang akan pengaruh animisme yang masih terjadi di Indonesia, dan berbagai kisah lainnya di sekitar proyek.
Tohari menutup buku Orang-orang Proyek ini dengan sebuah pertanyaan menarik, yang mungkin kita sendiri tak bisa menjawabnya. "Dengan mental "orang-orang proyek" yang merajalela di mana-mana, bisakah orang berharap akan terbangun tatanan yang hidup yang punya masa depan?". Ironis memang, tapi bukan berarti kita tak punya harapan.
jadi inget jembatan yg runtuh di tenggarong :((
BalasHapusiya mbak :(
Hapus