Judul: Sepeda Merah #1
Penulis: Kim Dong Hwa
Penerjemah: Meilia Kusumadewi
Editor: Tanti Lesmana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 144
Cetakan: I, Oktober 2012
ISBN: 9789792287769
Sudah berapa lama kah Anda terakhir mengirimkan surat? Mungkin ada yang sudah lupa, mengingat sekarang penggunaan email ataupun teknologi gadget mobile begitu pesat, menggantikan sarana surat-menyurat. Tapi tahukah bahwa surat memiliki kelebihan dibandingkan sarana penghubung lainnya? Kedekatan fisik yang lebih besar, juga ada pengorbanan Pak Pos, yang mau bersusah payah mengantar surat ke alamat tertuju.
Sepeda Merah, merupakan novel grafis, karya Kim Dong Hwa, penulis trilogi Tanah, yang mengisahkan tentang Desa Yahwari di Korea, dan juga pengantar surat yang lekat dengan Sepeda Merahnya, sebagai sarana mengantar surat.
Latar belakang desa Yahwari, desa tempat cerita Sepeda Merah, sangat unik. Desa dimana alamat tidak ditunjukkan dengan nomer jalan atau gang, tetapi cukup dengan sebutan rumah tujuan surat, seperti rumah dengan sema-semak warna khaki, rumah bertepi bunga-bunga liar, dan lain sebagainya. Selain itu warga yang dilewati tukang Posnya, kerapkali mengharapkan adanya surat yang ditujukan untuknya, kesederhanaan yang cukup menarik ketika sekarang kita sekarang kerap mengecek apakah ada sms yang masuk begitu bangun tidur, melihat inbox email begitu datang di kantor, dan sedikit-sedikit melihat apakah ada mention yang masuk di akun twitter kita.
Kim Dong Hwa, seolah-olah mengajarkan kita, hal sederhana pun yang kerapkali kita lupakan, sebenarnya merupakan hal yang indah. Seperti dalam bagian ketika Tukang Pos berpapasan dengan kereta api yang sedang lewat, selagi melambai kepada masinis kereta dia berujar,
Meski pun minim kata, selalu ada yang menelisik pikiran kita akan makna hidup. Ya, buku ini simple, tapi sangat menyentuh. Setiap bagiannya, Kim Dong Hwa memaparkan makna hidup buat kita. Ada senyum, ada sedih, dan ada takjub setelah menghabiskan bagian demi bagian dalam buku ini.
Ilustrasinya sendiri menurut saya sangat keren. Kim Dong Hwa berani memperkaya warna-warna di gambarannya yang bagus. Berbeda dengan trilogi warna yang lebih minim warna, dalam karya ini beliau berani membuat gambar yang kaya warna. Sama-sama memikat, namun di karya ini kesederhanaan Yahwari seolah-olah memancarkan kekompleksan hidup yang dijalani.
Sepeda merah, mengingatkan saya pada sebuah momen hidup, di mana kita dulu senang ketika menerima surat yang diantarkan oleh Pak Pos. Bahwa ada ikatan batin antara pengirim surat dengan penerima surat, dan diantarkan dengan seorang yang pantang lelah dan tak bosan-bosan dengan senyuman khasnya, pak Pos.
Sepeda Merah, merupakan novel grafis, karya Kim Dong Hwa, penulis trilogi Tanah, yang mengisahkan tentang Desa Yahwari di Korea, dan juga pengantar surat yang lekat dengan Sepeda Merahnya, sebagai sarana mengantar surat.
Latar belakang desa Yahwari, desa tempat cerita Sepeda Merah, sangat unik. Desa dimana alamat tidak ditunjukkan dengan nomer jalan atau gang, tetapi cukup dengan sebutan rumah tujuan surat, seperti rumah dengan sema-semak warna khaki, rumah bertepi bunga-bunga liar, dan lain sebagainya. Selain itu warga yang dilewati tukang Posnya, kerapkali mengharapkan adanya surat yang ditujukan untuknya, kesederhanaan yang cukup menarik ketika sekarang kita sekarang kerap mengecek apakah ada sms yang masuk begitu bangun tidur, melihat inbox email begitu datang di kantor, dan sedikit-sedikit melihat apakah ada mention yang masuk di akun twitter kita.
Kim Dong Hwa, seolah-olah mengajarkan kita, hal sederhana pun yang kerapkali kita lupakan, sebenarnya merupakan hal yang indah. Seperti dalam bagian ketika Tukang Pos berpapasan dengan kereta api yang sedang lewat, selagi melambai kepada masinis kereta dia berujar,
Ada banyak kesamaan antara tukang pos dan kondektur kereta. Kereta membawa orang-orang sampai tempat tujuan dengan selembar tiket... Surat dikirim ke tempat tujuan dengan selembar prangko. Kereta adalah perjalanan fisik yang kita rasakan. Surat adalah perjalanan mental yang kita renungkan. Kondektur kereta membawa tubuh dan tukan pos membawa hati... Mereka mirip satu sama lain (halaman 107-109)
Meski pun minim kata, selalu ada yang menelisik pikiran kita akan makna hidup. Ya, buku ini simple, tapi sangat menyentuh. Setiap bagiannya, Kim Dong Hwa memaparkan makna hidup buat kita. Ada senyum, ada sedih, dan ada takjub setelah menghabiskan bagian demi bagian dalam buku ini.
Ilustrasinya sendiri menurut saya sangat keren. Kim Dong Hwa berani memperkaya warna-warna di gambarannya yang bagus. Berbeda dengan trilogi warna yang lebih minim warna, dalam karya ini beliau berani membuat gambar yang kaya warna. Sama-sama memikat, namun di karya ini kesederhanaan Yahwari seolah-olah memancarkan kekompleksan hidup yang dijalani.
Sepeda merah, mengingatkan saya pada sebuah momen hidup, di mana kita dulu senang ketika menerima surat yang diantarkan oleh Pak Pos. Bahwa ada ikatan batin antara pengirim surat dengan penerima surat, dan diantarkan dengan seorang yang pantang lelah dan tak bosan-bosan dengan senyuman khasnya, pak Pos.
Reviewnya so sweet banget. Baru tahu kalau ini novel grafis.
BalasHapusterima kasihh kang :)
Hapusaaaaakkkk....selalu suka Kim Dong Hwa, belum punya yg ini!
BalasHapusayo kak luckty, beli ;)
HapusNice review mas.. sumpah pengen koleksi deh! Uda lama jadi wishlist :P
BalasHapusayo kak oky baca :)
HapusNovel grafis itu seperti Hugo ya maksudnya? Atau lebih seperti komik? ._. Pernah niat beli buku ini, tertarik dengan sinopsisnya, tapi....
BalasHapusseperti komik strip itu sih. Kalau HUgo bukan full novel grafis, cuma ilustrasinya yang memang agak banyak
Hapushuaaa.. iya, review nya manis banget..
BalasHapusbikin pengen nulis surat buat tukang pos #lah
jadi pengen baca, masukin WW gak ya xD