Tampilkan postingan dengan label Mizan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mizan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Juni 2014

Perempuan Suci

 
Judul: Perempuan Suci
Judul Asli: The Holy Woman
Penulis: Qaisra Shahraz
Penerjemah: Anton Kurnia & Atta Verin
Penerbit: Mizan
Jumlah Halaman: 520
Cetakan: VI, April 2008
ISBN: 9789794334065

Zarri Bano, sudah beberapa kali menolak lamaran untuk menikahinya. Kejelitaan dan kekayaannya memang membuat dia menjadi idola para pria, di desa Sindu, sebuah desa di Pakistan. Namun di suatu saat Sikander, rekan adik Zarri Bano, Jafar berhasil memikat hati Zarri Bano.

Namun sebelum pernikahan bisa terjadi, Jafar tetiba meninggal dunia akibat kecelakaan. Berdasar tradisi lokal, Zarri tak boleh menikah dengan seorang lelaki untuk mempertahankan warisan dari orangtuanya. Ia harus menjadi seorang perempuan suci, yang menikah dengan Al Qur'an, seumur hidupnya.


Awalnya saya merasa membaca buku ini akan penuh dengan konflik, begitu membaca blurbnya. Akan timbul pertentangan tentang pengangkatan menjadi seorang perempuan suci dari sosok Zarri Bano. Memang konflik kerap muncul tetapi terlalu datar dan memaksa bagi saya. Saya yang membacanya menjadi gregetan. Zari Banno yang diceritakan seorang wanita yang kuat menjadi lemah karena tekanan psikologis dari orang tuanya menjadi seorang perempuan suci. Sesudah itu konflik berputar pada hal itu. Ada konflik lain yang ditulis oleh penulis memang dalam buku ini tapi saya merasanya hanya untuk menguatkan isi buku ini semata.

Namun bagi saya, penulis mampu membuat cerita yang tak lantas membosankan. Penulis mampu mengngkat cerita yang menarik di samping konflik utamanya. Dan ini membuat 500 halaman dari buku ini tak menjadi kepanjangan. Cerita tentang Pakistannya cukup bagus. Di luar itu, saya jadi lebih memahami tentang dunia ISlam di negara lain, di luar pemberitaan yang menyebutkan orang Islam di sana beraliran fundamentalis.

Apakah saya menyukai buku ini? Antara ya dan tidak. Tetapi buku ini memberikan kisah yang cukup eksotis. Tentang sebuah kehidupan.

Jumat, 07 Maret 2014

Cecilia & Malaikat Ariel

Judul: Cecilia & Malaikat Ariel
Penulis: Jostein Gaarder
Penerjemah: Andityas Prabantoro
Penerbit: Mizan
Jumlah Halaman: 216
Cetakan: II, Februari 2009
ISBN: 9789794335390
 
Saya suka dengan kisah Dunia Sophie, novel filsafat  yang saya baca saat kuliah. Namun setelah itu saya lost contact  dengan karya-karya Gaarder selanjutnya. Dan kesempatan bertemu dengan tulisan Gaarder kembali terjadi, kali ini saya memilih buku yang lebih tipis, Cecilia & Malaikat Ariel. Novel ini mengisahkan perjumpaan Cecilia Skotbu, tokoh utama dalam buku ini dengan seorang malaikat bernama Ariel. Dan terjadinya dialog cantik antara kedua makhluk tersebut. Semua ingin mengetahui bagaimana rasanya menjadi makhluk di depannya. 

Tak ada rasa yang bisa dirasakan memang dengan saling bertutur, tetapi ada yang bisa dirasakan. Ada yang bisa dipahami satu sama lain. Bagi saya yang indah dalam buku ini adalah Gaarder, meski dengan pemahamannya sendiri, mengungkapkan apa yang selama ini selalu sulit dipahami oleh manusia, nilai-nilai surgawi dalam kehidupan dunia.
 
Mengusung nilai filsafat, buku ini justru tidak membawa saya ke kesulitan berpiir sebagaimana buku-buku filsafat. Ini kelebihan Gaarder, mungkin. Bisa mencipatakan rasa renyah dari filsafat yang rumit. Bahwa kita pun sebenarnya bisa berfilsafat ria.

Jumat, 30 Agustus 2013

From Beirut to Jerusalem

Judul: From Beirut to Jerusalem
Penulis: Ang Swee Chai
Penerjemah: Dina Mardiana
Editor: Andityas Prabantoro
Penerbit: Mizan
Cetakan: II (Edisi Baru), November 2010
Jumlah Halaman: 476
ISBN: 9789794335932
Saya menangis ketika membaca buku ini untuk pertamakalinya. Ilmu kedokteran dan keterampilan sastra menjadikan kesaksian ini begitu mengiris -Farid Gaban
Endorsement yang ditulis oleh Farid Gaban ini menurut saya tak berlebihan. Buku ini memang seperti itu, apa adanya. Setidaknya itulah yang saya rasakan setelah membaca buku ini. Pertama kali melihat buku ini saya sudah terpikat dengan tampilan, deskripsi, dan judulnya. Serasa semua berkonspirasi memikat mata dan minat saya untuk memiliki buku ini.

Mengisahkan sebagian pengalaman hidup Ang Swee Chai, seorang dokter bedah tulang asal Singapura yang menetap di Inggris, ketika memilih untuk terbang ke Libanon ketika untuk menjadi sukarelawan medis ketika terjadi perang antara tentara Israel melawan pengungsi Palestina di kamp pengungsian Sabra-Shatila, di Beirut, 1982.

Dari kesaksian dr. Ang, kita dapat mengetahui bahwa keadaan para pengungsi Palestina begitu mengenaskan. Orang tua mereka berpindah dari Palestina, ketika tanah mereka direbut oleh Zionis Israel di tahun 1948, namun di tempat pengungsian seperti kamp Sabra-Shatila pun mereka harus menghadapi kekerasan fisik. Ketika dr. Ang tiba untuk pertama kalinya di Beirut, harapan tentang perdamaian begitu membuncah, karena pada saat itu gerilyawan PLO, yang dianggap sebagai teroris bagi Israel, dideportasi namun sesudah deportasi tersebut yang terjadi justru pembantaian besar-besaran yang dilakukan terhadap pengungsi di kamp Sabra-Shatila.

Sebagai petugas medis sukarelawan di rumah sakit Gaza, dr. Ang merasakan nestapa yang dirasakan oleh orang-orang Palestina tersebut. Alat-alat medis yang terbatas, di mana fasilitas yang ada terkena bumi hangus, jumlah penduduk yang padat, beberapa teman sejawat sukarelawan yang justru malah mau enak-enaknya saja padahal di depan mata banyak korban jiwa yang masih memerlukan bantuan, serta tindakan biadab tentara Israel, yang justru menangkapi tenaga medis asing dan menginterogasi mereka seperti yang sempat dialami oleh dr. Ang sendiri.

Kemanusiaanlah yang membuat dr. Ang yang semula karena pandangan keagamaannya mendukung Israel menjadi berbalik arah mendukung rakyat Palestina. Meski kemanusiaan pula yang membuat ia juga mau mengobati tentara yang dibencinya. Tetapi nilai kemanusiaan juga lah yang membuat ia senasib dengan penderitaan rakyat Palestina, ketika ia tahu meskipun menderita mereka mau memberikan apa saja kepada orang lain termasuk kepada dr. Ang.

Mungkin hati ini akan tercelos, ketika tentara Israel memburu seorang bocah berusia 3 tahun yang melempari batu. Ketika tentara-tentara tersebut menanyakan bocah tersebut siapakah yang mengajari dia, jawaban singkat kakaknya membuat para tentara tersebut memburu sang kakak, yang ternyata didapati hanyalah setahun lebih tua dari bocah kecil tersebut.

Episode hidup yang dialami oleh dr. Ang bukan hal yang dibuat-buat. Dengan membaca buku ini, saya merasa di pelosok dunia lain, masih ada orang yang terkunkung. Masih ada yang menderita terusir dari negeri tercintanya dan masih belum tahu kapan bisa kembali ke tanah air tercinta mereka. Sebuah kisah sejati yang perlu dibaca untuk mengetahui apa yang terjadi di dunia ini. Dan sayangnya, buku ini diberhentikan peredarannya di Amerika Serikat, negara yang justru mengklaim keterbukaan informasinya terbuka lebar.

Untuk mengakhiri tulisan ini, izikanlah saya mengutip sebuah paragraf dalam buku ini yang membuat saya merenung dalam-dalam, sebagai bagian yang tak lekang maknanya oleh waktu untuk selalu diingat:
Mereka punya sebuah mimpi. Dan aku berbagi mimpi itu dengan mereka: mimpi tentang sebuah dunia yang tampak jelas di tengah-tengah semburan gas air mata dan reruntuhan yang berasap di kamp-kamp pengungsi. Sebuah dunia tempat seorang bocah sebelas tahun tak perlu belajar cara menggunakan sepucuk kalashnikov atau mesin peluncur roket untuk membela keluarganya. Sebuah dunia yang damai, adil, dan aman, tempat aku tak perlu mengatakan kepada seorang anak, "Pergilah ke sekolah," hanya untuk mengetahui bahwa sekolahnya telah dibom, atau mengatakan kepada seorang gadis, "Bantulah ibumu menyiapkan makan malam," hanya untuk melihatnya kembali kepadaku dan mengatakan bahwa ibu dan keluarganya telah dibunuh. Sebuah dunia tempat kami tak perlu lagitakut terkubur hidup-hidup di dalam puing-puing. Sebuah dunia tempat aku tak perlu lagi memperbaiki bagian-bagian tubuh yang patah hanya untuk melihatnya dipatahkan lagi, atau memeluk tubuh remuk seorang bocah dengan tanganku dan bertanya, "Mengapa?" atau mendengar orang-orang bertanya, "Berapa lama lagi?" Sebuah dunia tanpa penjara, tanpa penyiksaan, tanpa rasa sakit, tanpa kelaparan, dan tanpa kartu-kartu identitas pengungsi, tempat aku dapat berteduh di rumahku sendiri dan mendengarkan nyanyian ibuku seraya menutup mata di penghujung hari. Tempat itu adalah mimpi kami, Jerusalem kami. (dr. Ang Swee Chai, 465-466).

Sabtu, 30 Juni 2012

Menerobos Kegelapan

Judul: Menerobos Kegelapan: Sebuah Biografi Spiritual
Penulis: Karen Armstrong
Penerjemah: Yuliani Liputo
Penerbit: Mizan
Jumlah Halaman: 560
ISBN: 9789794323655

Karen Armstrong, nama penulis Inggris ini melejit begitu tulisannya Sejarah Tuhan (edisi asli: A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity, and Islam) menjadi salah satu buku best seller. Kajian yang intensif dalam bukunya tersebut mengenai religiutas dalam konsep agama di dunia, utamanya tiga agama samawi besar: Islam, Kristen dan Yahudi; begitu menggetarkan. Tapi sejauh ini tidak diketahui bagaimana pandangan Armstrong terhadap sifat religiutas dirinya sendiri. Buku ini, Menerobos Kegelapan, adalah buku autobiografi sosok Armstrong sendiri, semenjak keluarnya dia sebagai biarawati katolik sampai pada ketika meledaknya peristiwa 11 September yang membuat hubungan anatar pemeluk agama menjadi rentan.

Meskipun merupakan buku biografi, buku terasa 'berat' bagi saya. Maklum, dengan tajuk biografi spiritual, tapi bahasan Armstrong begitu dalam mengenai pemikiran-pemikirannya. Dari penderitaannya selama menjadi biarawati, pergolakannya ketika menjadi mahasiswa di Oxford, penderitaannya didera epilepsi, kegalauannya ketika mengajar, dan tantangan yang dihadapi ketika membuat acara televisi dengan tajuk keagamaan. Semua tak lepas dari pemikiran Armstrong mengenai spiritualisme, yang berbobot namun 'agak berat'. Meskipun demikian, saya jelas suka bagaimana cara Armstrong menguraikan hidupnya. Saya kerapkali tak sependapat Armstrong tapi saya bisa berdamai dengan pilihan hidupnya.  

Kita tak perlu mengabaikan agama, seperti yang dilakukan Armstrong dalam kehidupannya ketika kecewa dengan formalitas agama yang pernah dijalaninya, tetapi menikmati tulisan Armstrong, dalam menerobos Kegelapan adalah salah satu cara bagi kita untuk memahami pandangan berbeda seseorang yang bergulat dengan kehidupan spiritualnya, pengalaman berharganya, yang fantastis