Judul: From Beirut to Jerusalem
Penulis: Ang Swee Chai
Penerjemah: Dina Mardiana
Editor: Andityas Prabantoro
Penerbit: Mizan
Cetakan: II (Edisi Baru), November 2010
Jumlah Halaman: 476
ISBN: 9789794335932
Saya menangis ketika membaca buku ini untuk pertamakalinya. Ilmu kedokteran dan keterampilan sastra menjadikan kesaksian ini begitu mengiris -Farid Gaban
Endorsement yang ditulis oleh Farid Gaban ini menurut saya tak berlebihan. Buku ini memang seperti itu, apa adanya. Setidaknya itulah yang saya rasakan setelah membaca buku ini. Pertama kali melihat buku ini saya sudah terpikat dengan tampilan, deskripsi, dan judulnya. Serasa semua berkonspirasi memikat mata dan minat saya untuk memiliki buku ini.
Mengisahkan sebagian pengalaman hidup Ang Swee Chai, seorang dokter bedah tulang asal Singapura yang menetap di Inggris, ketika memilih untuk terbang ke Libanon ketika untuk menjadi sukarelawan medis ketika terjadi perang antara tentara Israel melawan pengungsi Palestina di kamp pengungsian Sabra-Shatila, di Beirut, 1982.
Dari kesaksian dr. Ang, kita dapat mengetahui bahwa keadaan para pengungsi Palestina begitu mengenaskan. Orang tua mereka berpindah dari Palestina, ketika tanah mereka direbut oleh Zionis Israel di tahun 1948, namun di tempat pengungsian seperti kamp Sabra-Shatila pun mereka harus menghadapi kekerasan fisik. Ketika dr. Ang tiba untuk pertama kalinya di Beirut, harapan tentang perdamaian begitu membuncah, karena pada saat itu gerilyawan PLO, yang dianggap sebagai teroris bagi Israel, dideportasi namun sesudah deportasi tersebut yang terjadi justru pembantaian besar-besaran yang dilakukan terhadap pengungsi di kamp Sabra-Shatila.
Sebagai petugas medis sukarelawan di rumah sakit Gaza, dr. Ang merasakan nestapa yang dirasakan oleh orang-orang Palestina tersebut. Alat-alat medis yang terbatas, di mana fasilitas yang ada terkena bumi hangus, jumlah penduduk yang padat, beberapa teman sejawat sukarelawan yang justru malah mau enak-enaknya saja padahal di depan mata banyak korban jiwa yang masih memerlukan bantuan, serta tindakan biadab tentara Israel, yang justru menangkapi tenaga medis asing dan menginterogasi mereka seperti yang sempat dialami oleh dr. Ang sendiri.
Kemanusiaanlah yang membuat dr. Ang yang semula karena pandangan keagamaannya mendukung Israel menjadi berbalik arah mendukung rakyat Palestina. Meski kemanusiaan pula yang membuat ia juga mau mengobati tentara yang dibencinya. Tetapi nilai kemanusiaan juga lah yang membuat ia senasib dengan penderitaan rakyat Palestina, ketika ia tahu meskipun menderita mereka mau memberikan apa saja kepada orang lain termasuk kepada dr. Ang.
Mungkin hati ini akan tercelos, ketika tentara Israel memburu seorang bocah berusia 3 tahun yang melempari batu. Ketika tentara-tentara tersebut menanyakan bocah tersebut siapakah yang mengajari dia, jawaban singkat kakaknya membuat para tentara tersebut memburu sang kakak, yang ternyata didapati hanyalah setahun lebih tua dari bocah kecil tersebut.
Episode hidup yang dialami oleh dr. Ang bukan hal yang dibuat-buat. Dengan membaca buku ini, saya merasa di pelosok dunia lain, masih ada orang yang terkunkung. Masih ada yang menderita terusir dari negeri tercintanya dan masih belum tahu kapan bisa kembali ke tanah air tercinta mereka. Sebuah kisah sejati yang perlu dibaca untuk mengetahui apa yang terjadi di dunia ini. Dan sayangnya, buku ini diberhentikan peredarannya di Amerika Serikat, negara yang justru mengklaim keterbukaan informasinya terbuka lebar.
Untuk mengakhiri tulisan ini, izikanlah saya mengutip sebuah paragraf dalam buku ini yang membuat saya merenung dalam-dalam, sebagai bagian yang tak lekang maknanya oleh waktu untuk selalu diingat:
Mereka punya sebuah mimpi. Dan aku berbagi mimpi itu dengan mereka: mimpi tentang sebuah dunia yang tampak jelas di tengah-tengah semburan gas air mata dan reruntuhan yang berasap di kamp-kamp pengungsi. Sebuah dunia tempat seorang bocah sebelas tahun tak perlu belajar cara menggunakan sepucuk kalashnikov atau mesin peluncur roket untuk membela keluarganya. Sebuah dunia yang damai, adil, dan aman, tempat aku tak perlu mengatakan kepada seorang anak, "Pergilah ke sekolah," hanya untuk mengetahui bahwa sekolahnya telah dibom, atau mengatakan kepada seorang gadis, "Bantulah ibumu menyiapkan makan malam," hanya untuk melihatnya kembali kepadaku dan mengatakan bahwa ibu dan keluarganya telah dibunuh. Sebuah dunia tempat kami tak perlu lagitakut terkubur hidup-hidup di dalam puing-puing. Sebuah dunia tempat aku tak perlu lagi memperbaiki bagian-bagian tubuh yang patah hanya untuk melihatnya dipatahkan lagi, atau memeluk tubuh remuk seorang bocah dengan tanganku dan bertanya, "Mengapa?" atau mendengar orang-orang bertanya, "Berapa lama lagi?" Sebuah dunia tanpa penjara, tanpa penyiksaan, tanpa rasa sakit, tanpa kelaparan, dan tanpa kartu-kartu identitas pengungsi, tempat aku dapat berteduh di rumahku sendiri dan mendengarkan nyanyian ibuku seraya menutup mata di penghujung hari. Tempat itu adalah mimpi kami, Jerusalem kami. (dr. Ang Swee Chai, 465-466).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar